twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Saturday, May 18, 2013

Tehnologi Fermentasi solusi bagi Peternak

                                                 
 Oleh : Ahmad Qusyairi as-Salimy

Ketersediaan pakan ternak menjadi salah satu syarat utama dalam berternak maka untuk memenuhi pakan tidaklah sulit untuk negara yang subur seperti negara kita ini, kita tahu bahwa rerumputan bertebaran dimanan-mana dedaunan terbentang luas dari sabang sampai merauke. Tapi kita harus ingat bahwa musim hujan tidak turun sepanjang tahun, musim hujan berkisar hanya enam bulan dan enam bulannya lagi musim kemarau.

Mungkin yang ditakutkan para peternak ketika musim kemarau tiba, ketika semua rumput dan dedaunan kering kerontang karna kekurangan air. Mengingat ketersediaan pakan ternak mejadi syarat utama dalam berternak sehingga ketersediaan pakan merupakan suatu keniscayaan dan hal yang urgen dalam berternak. Hal ini menjadi suatu keharusan bagi seorang peternakuntuk selalu mencukupinya.Karna sebab itu, mereka enggan untuk mencoba bisnis ini dan lebih memilih usaha yang lain. Jika yang dipermasalahkan sebagaimana yang telah paparkan diatas maka tidak ada alasan lagi tiadak mencoba untuk berternak. Permasalahan itu sekarang bisa disiasati dengan tehnologi fermentasi pakan ternak yang bahan bakunya bisa dari berbagai macan tanaman, misalnya jerami , tongkol jagung, daun bambu dan lain sebagainya. 

Proses pembuatan fermentasi pakan inipun tidak terlalu sulit, juga sangat terjangkau dan beragam, hanya dibutuhkan sedikit urea air dan hijauan yang akan difermentasikan. Fermentasi ini juga akan berguna untuk mengakali pakan yang tidak disukai ternak dapat menjadi disukai, contohnya adalah tangkai jagung, jerami tua (kering) , daun jati kering, daun bambu kering, kulit kacang, kulit ketela, bonggol jagung, dan batang pisang sudah pasti tidak akan disukai oleh ternak ruminansia(sapi, kerbau, domba, kambing dan kuda). Namun setelah difermentasi dapat dimakan dan disukai oleh ternak ruminansia ,begitu juga dengan dedaunan kering yang awalnya tidak disukai setelah difermetasi pasti akan dilahap habis. 

Kalau ditanya apakah tehnologi fermentasi ini mengandung gizi ? tentu, bahkan pakan ini dapat meningkatkan kadar protein, juga sangat baik untuk kesehatan ternak dan mempercepat berat badan hewan. Cukup? Belum, masih banyak manfaat dari fermetasi ini antara lain danging kambing menjadi rendah kolestrol,serapan gizi lebih maksimal, dan kotorannya kalau gunakan untuk pupuk lebih subur sehingga nilai ekonomisnya lebih tinggi. 

Pembuatan Pakan ternak organik ini murah meriah."Proses pembuatan pakan ternak organik ini nyaris tidak mengeluarkan biaya, hanya cairan tetes tebu yang harus dibeli peternak. Itupun dengan harga yang cukup terjangkau," kata Bambang “Biaya yang kami keluarkan juga sangat sedikit. Selain itu, pakan ternak organik mampu membuat berat kambing semakin berbobot," kata Bambang salah seorang peternak kambing asal desa karang anyar.

Berikut beberapa cara fermetasi yang penulis ambil dari bersumber Adapun tahapan secara umum dalam proses pembuatan Pakan Ternak Fermentasi adalah sebagai berikut 
1. Menyiapkan bahan yang dibutuhkan untuk menumbuhkan mikroorganisme maupun untuk prosesnya nanti. 2. Membersihkan atau menseterilkan bahan,fermentor dan semua perlengkapannya. 
3. Pelakasanaan proses fermentasi secara optimum. 
4. Pemanenan atau pemakaian hasil fermentasi,dan 
5. Pengolahan atau pembuangan limbah yang dihasilkan selama proses fermentasi. 

Beberapa Contoh Jenis Pakan Ternak Fermentasi di antaranya : Pakan Ternak Fermentasi dari Dedak ; Cara pembuatannya : 

1. Bahan dedak yang akan diawetkan diambil yang masih fresh atau baru. 
2. Campur dedak dengan Molasses dengan ukuran 3% dari berat dedak. 
3. Tambahkan air 50% dari berat dedak.
 4. Masukkan dalam tabung atau kaleng atau plastik lalu aduk sampai merata kemudian ttutup dengan rapat. 5. Simpan pada suhu kamar kurang lebih 2 ( dua ) bulan lamanya. Untuk catatan saja molasses bisa diganti dengan gula pasir,oleh karena itu jika susah mendapatkannya pakai aja gula pasir. 

Pakan Ternak Fermentasi dari Jerami Cara pembuatannya : 

1. Jerami ditumbuk kemudian disimpan ditempat yang telah disiapkan misal dengan ketinggian 20 cm.
 2. Tamabahkan urea dan probiotik secara merata dengan ukuran masing-masing 2.5 kg untuk 1 ton jerami.Lalu tambah jermi lagi stinggi 20 cm lagi dan tambahkan juga lagi probiotik dan urea.demikian seterusnya sampai akhirnya tumpukan jerami menjadi sekitar 1 sampai 2 m.
 3. Agar fermentasi berlangsung sempurna,maka biarkan selama kurang lebih 14 hari.
 4. Setelah proses fermentasi selesai selanjutnya jerami dibiarkan ditempat terbuka atau dikeringkan sebelum disimpan dalam tempat yang aman dari hujan dan sinar matahari secara langsung. 
5. Setelah kering pakan ternak fermentasi dari jerami ini dapat diberikan kepada sapi untuk makanannya dengan takaran kurang lebih untuk satu ekornya adalah 6kg sampai 8kg per hari. 
6. Untuk pengolahan PAKAN TERNAK FERMENTASI dengan bahan yang lain,kita bisa melakukan uji coba atau eksperimen sendiri sesuai kreativitas kita masing-masing dengan tetap mengacu pada teori umum Fermentasi diatas. Sekarang terserah anda teknik sudah ada, tinggal pengaplikasikannya dan kemauan untuk melaksanakan itu semua. Ingat ! setelah berusaha kita wajib bertawakkal karna kita hanya berusaha, yang menentukan berhasil tidaknya hanya Allah. Namun jangan lupa bahwa Allah telah memberi untuk berusaha , sebagaiman fimannya “ Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubahnya sendiri “. So, semua terserah anda dan Selamat mencoba,Oke semoga berhasil. 

Penulis adalah Mahasiswa Ekonomi Syariah  
Baca Tulisan Selengkapnya >>

Friday, April 12, 2013

Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah

Baru-baru ini, UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap perundang-indangan yang mengatur harta benda,  bisnis dan perdagangan secara luas.
Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. 

Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syariah, 2.Lembaga keuangan mikro syari’ah, c. asuransi syari’ah, d. reasurasi syari’ah, e. reksadana syari’ah, f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. sekuritas syariah, h. Pembiayaan syari’ah, i. Pegadaian syari’ah, j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan k. bisnis syari’ah
Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah  diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah.

Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989  ini,  penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab Undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam  praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah BW.

Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik Penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.

Urgensi Kodifikasi    
Ketika wewenang mengadili sengketa hukum ekonomi syariah menjadi wewenang absolut hakim pengadilan agama, maka dibutuhkan adanya kodifikasi hukum ekonomi syariah yang lengkap agar hukum ekonomi syariah memiliki kepastian hukum dan para hakim memiliki rujukan standart dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa di dalam bisnis syari’ah. Dalam bidang perkawinan, warisan dan waqaf, kita telah memiliki KHI (Kompilasi Hukum Islam), sedangkan dalam bidang ekonomi syariah kita belum memilikinya.
Kedudukan KHI  secara konstitusional, masih sangat lemah, karena keberadaannya  hanyalah sebagai inpres. Karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum yang lebih kuat yang dapat menjadi rujukan para hakim dalam memutuskan berbagai persoalan hukum .

Untuk itulah kita perlu merumuskan Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam, sebagaimana yang dibuat pemerintahan Turki Usmani bernama Al-Majallah Al-Ahkam al-’Adliyah yang terdiri dari 1851 pasal.
Kodifikasi adalah himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang atau hal penyusunan kitab perundang-undangan Dalam sejarahnya, formulasi suatu hukum atau peraturan dibuat secara tertulis yang disebut jus scriptum. Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah berbagai peraturan-peraturan dalam bentuk tertulis tersebut yang disebut corpus juris. Setelah jumlah peraturan itu menjadi demikian banyak, maka dibutuhkan sebuah kodifikasi hukum yang menghimpun berbagai macam peraturan perundang-undangan. Para ahli hukum dan hakim pun berupaya  menguasai peraturan-peraturan itu dengan baik agar mereka bisa menyelesaikan berbagai macam persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat dengan penuh keadilan dan kemaslahatan..

Berdasarkan dasar pemikiran itu, maka hukum ekonomi syariah yang berasal dari fikih muamalah, yang telah dipraktekkan  dalam aktifitas di lembaga keuangan syariah, memerlukan wadah perundang-undangan agar memudahkan  penerapannya dalam kegiatan usaha di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut.
Dalam pengambilan keputusan di Pengadilan  dalam bidang  ekonomi syariah dimungkinkan adanya perbedaan pendapat. Untuk itulah  diperlukan adanya kepastian hukum sebagai dasar pengambilan keputusan di Pengadilan. Terlebih lagi dengan karakteristik bidang muamalah yang bersifat “elastis dan terbuka” sangat memungkinkan berfariasinya putusan-putusan tersebut nantinya yang sangat potensial dapat menghalangi pemenuhan rasa keadilan. Dengan demikian lahirnya Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah dalam sebuah Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata Islam menjadi sebuah keniscayaan.

Sebagaimana dimaklumi bahwa formulasi  materi Kodifikasi  Hukum Ekonomi Syariah  tidak terdapat dalam Yurisprudensi di lembaga-lembaga peradilan Indonesia. Meskipun demikian, yurisprudensi dalam kasus yang sama bisa dirujuk sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip hukum ekonomi syariah. Artinya, keputusan hukum masa lampau itu difikihkan, karena dinilai sesuai dengan syariah.

Jadi pekerjaan para mujtahid ekonomi syariah Indonesia, bukan saja merumuskan hukum ekonomi baru yang berasal dari norma-norma fikih/syariah, tetapi bagaimana bisa memfikihkan hukum nasional yang telah ada. Hukum nasional yang bersumber dari KUH Perdata (BW), kemungkinan besar banyak yang sesuai syariah, maka materi dan keputusan hukumnya dalam bentuk yurusprudensi bisa ditaqrir atau diadopsi.
 KUH Perdata (BW) yang mengambil masukan dari Code Civil Perancis ini dalam pembuatannya mengambil pemikiran para pakar hukum Islam dari Mesir yang bermazhab Maliki, sehingga tidak aneh apabila terdapat banyak kesamaan prinsip-prinsip dalam KUH Perdata dengan ketentuan fikih Muamalah tersebut, seperti hibah, wadi’ah dan lain-lain.

 Selain itu, yurisprudensi  putusan ekonomi syariah, mungkin juga bisa dicari dari penerapan hukum adat di dalam putusan pengadilan yang ada di negara kita yang sedikit banyak telah diinspirasikan oleh ketentuan hukum Islam. Yang paling bagus adalah merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam yang pernah dibuat di zaman Kekhalifahan Turki Usmani yang disebut Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah” KUH Perdata Islam ini dapat dikembangkan dan diperluas bahasannya disesuaikan dengan perkembangan aktivitas perekonomian di zaman modern ini. 

Selain itu, penyusunan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah atau Hukum Perdata Islam, harus menggunakan ilmu ushul fiqh dan qawa’id fiqh. Disiplin ini adalah metodologi yurispridensi Islam yang mutlak diperlukan para mujtahid. Dengan demikian maqashid syariah perlu menjadi landasan perumusan hukum. Metode istihsan, urf, sadd zariah, dan  pertimbangan-pertimbangan ‘kemaslahatan’ menjadi penting. Dengan demikian, diharapkan, selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi hukum serta keadilan masyarakat, Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah juga akan mampu berperan sebagai perekayasa (social enginaring) masyarakat muslim Indonesia.

Secara teoritis penerapan Kodifikasi  Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia ini dapat terwujud melalui peran penting pemerintah  ‘Political Will’ Penguasa, sebagaimana telah diterapkan pada Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang ini. Untuk menyusun Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah, peran Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) sangat penting, mengingat IAEI adalah kumpulan para pakar ekonomi syariah Indonesia dari berbagai perguruan tinggi terkemuka.

Ditulis oleh Agustianto
Baca Tulisan Selengkapnya >>

Urgensi Ekonomi Islam

“…Allah telah menghalalkan bagimu jual-beli, dan mengharamkan bagimu riba…” (Al Baqarah: 275)
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka…” (At Taubah: 111)

Urgensi Ekonomi
Ekonomi merupakan sebuah aktifitas dasar manusia dalam rangka memenuhi naluri mereka untuk tetap bertahan hidup semampu mereka di dunia ini. Mereka melakukan apa saja yang mereka mampu, sehingga segala kebutuhan hidupnya dapat terlayani dengan maksimal. Pelayanan kebutuhan ini pun terus berkembang bukan hanya jenis pelayanan dari variasi kebutuhan, tapi juga kualitas pemenuhan kebutuhan itu sendiri.

Dari dua penggal pertama kalimat Allah SWT yang ada dalam kitab-Nya Al Qur’an diatas, tergambar dua maksud yang diinginkan Allah SWT terhadap manusia yang tengah menjalani masa hidupnya di dunia. Pertama, bahwa aktifitas manusia dalam bertahan hidup untuk mencapai kemenangan dunia-akhirat salah satu tumpuannya adalah pada aktifitas ekonomi, dan aktifitas utama ekonomi adalah jual-beli. Kedua, bahwa segala aktifitas ekonomi tersebut tidak lepas dari konsep ibadah kepada Allah SWT. Dan pada penggal terakhir dari firman Allah SWT diatas, ditegaskan bahwa untuk kepentingan kehidupan manusia tersebut Allah SWT menyediakan segala keperluan mereka, baik keperluan lahir dan bathin.

Dan dalam praktek ibadah, Islam memiliki prinsip-prinsip dan aturan-aturannya sendiri, ia memiliki konsekuensi yang khas. Islam tidak memenjara hak individu secara mutlak, tapi juga tidak membebaskan mereka secara total sehingga dapat menganiaya manusia lain dan lingkungannya. Islam mengatur aktifitas kehidupan secara moderat dengan asas keadilan dan keseimbangan, sehingga keselamatan terjaga, kesejahteraan dirasakan dan kedamaian didapatkan.

Selanjutnya islam memandang bahwa hidup di dunia hanyalah sebagian kecil dari perjalanan kehidupan manusia, karena setelah kehidupan dunia ini ada kehidupan akhirat yang kekal abadi. Namun demikian, nasib sesorang di akhirat nanti ditentukan oleh apa yang dikerjakannya di dunia. Sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW, al dunya mazra’at al akhirat (dunia adalah ladah akhirat). Konsekuensinya ajaran islam tidak hanya terbatas pada masalah hubungan pribadi antara seorang individu denan penciptanya (hablun minallah) namun juga hubungan antar sesama manusia (hablun minannas), bahkan juga hubungan dengan makhluk lainnya termasuk dengan alam dan lingkungannya.

Dalam Islam bentuk konkrit dari kesuksesan manusia dalam hidupnya adalah menjadi penghuni syurga. Dan untuk mendapatkan itu Islam memiliki aturan, prinsip atau bahkan konsekuensi-konsekuensi yang harus dilaksanakan oleh manusia baik secara individual maupun secara kolektif, pada seluruh aktifitas hidupnya. Dalam aktifitas ekonomi khususnya, Islam diyakini memiliki sistem yang sempurna bagi manusia dalam rangka memperoleh kesuksesan hidup tadi. Sistem yang ditawarkan Islam ini lebih luas cakupannya jika dibandingkan dengan sistem yang dimiliki konvensional. Sistem ini tidak hanya meliputi mekanisme praktis, tapi juga meliputi prilaku moral manusia; individual dan kolektif. Menurut Husein Shahhatah, Dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari. 

Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata :
لا يبع في سوقنا الا من قد تفقه في الدين 
“Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi)

*Cakupan Islam
Akidah 
Syariah
Akhlaq

Terkait dengan akidah, karena akidah adalah pokok-pokok keimanan maka akidah sifatnya kekal dan tidak mengalami perubahan baik karena perubahan zaman maupun perubahan tempat. Sejak zaman Nabi Adam AS sampai sekarang dan diujung dunia manapun persoalan akidah akan tetap konstan. Seperti ditegaskan oleh Allah SWT dalam Qur’an :

Dia telah mensyariatkan bagi kamu dalam agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim , Musa dan Isa tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Terkait dengan syariah Allah SWT berbeda di masing-masing zaman sesuai dengan peradaban manusia. Oleh karena itu syariat yang berlaku di zaman Nabi Nuh AS berbeda dengan zaman nabi Musa AS, berbeda pula dengan zaman nabi Muhammad SAW1. Sebabnya ialah karena setiap umat menghadapi situasi dan kondisi yang khas dan unik sesuai dengan keadaan mereka sendiri hal ikhwal dengan jalan pikirannya serta perkembangan kerohaniannya. 

Dengan latar belakang diatas, para ulama telah merumuskan suatu kaidah dasar dalam syariat yang disebut dengan dua hokum asal yakni hokum asal ibadah dan hokum asal muamalah. Hokum asal muamalah menyatakan bahwa segala sesuatu dilarang kecuali yang ada petunjuknya dalam Qur’an atau sunnah sehingga tidak boleh lagi melakukan penambahan dan atau perubahan. Di lain piha hokum asal muamalat menyatakan bahwa segala sesuatunya dibolehkan kecuali yang dilarang dalam Qur’an dan atau sunnah. Disini terdapat lapangan yang luas sekali terkait muamalah. Nabi bersabda : “antum a’lamu bi umuuri dunyakum” (kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian). Yang diperlukan hanyalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang dan menghindarinya.

Oleh : Nanung Karnasi Wibowo
Baca Tulisan Selengkapnya >>

Urgensi SDM Dalam Ekonomi Syariah

Sudah terlalu lama Islam ditinggalkan pemeluknya dalam percaturan ekonomi dan bisnis kecuali dalam porsi yang sangat kecil atau pemain pinggiran. Mind set umat seolah sudah terbelah antara dunia bisnis dan ekonomi yang ''kotor dan berliku'' dengan syariah yang ''bersih dan suci''. Islam harus ''dipisahkan'' dari bisnis dan ekonomi agar tetap ''mulia dan bersih''.

Dampak dari dualisme ini kita telah menyaksikan kegersangan yang cukup panjang di sentra-sentra ekonomi kita dari nilai-nilai luhur religi. Kita hampir tidak pernah menyaksikan Islam ''hadir'' di transaksi pasar modal kita. Kita Jarang mendengar firman Allah menjadi dasar akad kredit perbankan atau sabda rasulullah dalam penerbitan polis dan perhitungan aktuaria asuransi. Fatwa ulama pun seolah tidak ada hubungannya dengan pengelolaan dana pensiun, investasi reksadana atau kegiatan pegadaian.

Memang setiap Jumat, kita mendengarkan khatib ceramah di kantor-kantor dan sentra-sentra ekonomi, tetapi apa yang disampaikan khatib di mimbar sama sekali tidak bersentuhan dengan segenap transaksi komersial yang terjadi di gedung gedung itu. Akibatnya ketika Islam dipinggirkan, maka otomatis nilai-nilai dan pranata asinglah yang masuk dan berperan dihampir semua sektor ekonomi. Islam harus puas dijadikan pemeluknya hanya sebagai agama masjid dan mushalla, sebagai system of worship 'pengatur ibadah ritual', bukan sebagai way of life 'sitem hidup yang paripurna'.

Satu dari sekian faktor yang bertangung jawab dari keterasingan Islam dari dunia ekonomi adalah pola pendidikan kita yang menceraikan ekonomi dari syariah atau muamalah dari bisnis. Di hampir semua fakultas ekonomi dunia, demikian juga Indonesia, kita hanya diajarkan ekonomi makro, ekonomi mikro, akuntansi biaya, ekonomi pembangunan, pasar modal, dan pasar uang dengan seluruh asumsi dan filosofi ekonomi kapitalis. Hampir tidak pernah mahasiswa ekonomi mengenal apa yang disebut dengan nadzariyatu aqd, siyasah al maliyah fi ashr al khilafah, hadist al ahkam atau fiqih muamalah.

Pada waktu yang sama dunia pesantren asyik bergulat dengan kitab-kitab klasik standar seperti Al Baijuri, I'anatu ath thalibin, Bugiyatu Mustarshidin, al Iqna, Raudhatu ath thalibin, Majmu li an nawawi atau al Umm li Asy Syafii. Para santri asyik ''melewati'' bab-bab komersial seperti bab al buyu, bab asy syirkah, bab ar rahn, bab al ijarah, dan ash sharf tanpa pernah bertanya bagaimana menerapkannya dalam bangun-bangun institusi keuangan dan ekonomi modern. Beratus ratus tahun kita mempelajari kitab kuning di pondok pesantren dengan tetap menjadikan khazanah fiqih muamalah peninggalan ulama terdahulu sebagai penghias rak-rak pondok pesantren tanpa pernah terpikir bagaimana membawanya ke jalan Thamrin, Sudirman, Rasuna Said, Jakarta dan sentra-sentra bisnis lainnya.

Dampak langsung dari dualisme pendidikan ini sangat banyak. Di antaranya adalah: (1) keterasingan Islam dari kebijakan kebijakan makro ekonomi, (2) kegersangan kurikulum ekonomi nasional dari prinsip-prinsip syariah muamalah, (3) para praktisi bisnis jauh dari nilai-nilai Islam, (4) keterpisahan khazanah keilmuan muamalah Islam dari aplikasi lapangan, (5)kegamangan umat dalam memberikan solusi Islam untuk masalah masalah ekonomi modern seperti pengangguran, double digit inflation, disparitas pusat dan daerah, dan tingginya angka kebocoran anggaran pendapatan dan belanja negara.

Krisis moneter pada pertengahan 1997 dengan segala hiruk pikuk dampaknya seperti likuidasi atas 69 bank swasta nasional, dan menggunungnya biaya rekapitalisasi perbankan yang mencapai Rp 635 triliun tampaknya telah memberikan kesadaran baru bahwa ''there is something wrong with our banking and financial system''. Salah satu bentuk kesadaran ini (semoga) adalah adanya upaya untuk memberikan perhatian pada perbankan dan lembaga keuangan syariah sebagai salah satu varian jasa keuangan.

Tepat dua tahun setelah kemunculan krisis keuangan Asia, kita menyaksikan berdirinya Bank Syariah Mandiri (BSM) sebagai bank syariah milik pemerintah pertama di tanah air. Langkah BSM ini disusul oleh Bank IFI yang membuka cabang syariah, demikian juga cabang syariah Bank Bukopin di Aceh (yang kemudian karena alasana keamanan direlokasi ke Melawai Jakarta). Di antara bank milik pemerintah daerah, Bank Jabar adalah bank pemda yang pertama memiliki cabang syariah. Setelah melihat respons yang cukup positif, dua bank pemerintah lainnya, BNI-46 dan BRI, serta satu bank papan atas swasta, Bank Danamon, juga tampaknya tidak ingin ketinggalan untuk masuk ke industri perbankan yang baru ini.

Industri asuransi, pada masa pasca krisis, kita juga menyaksikan kehadiran tiga lembaga asuransi yang menyusul PT Syarikat Takaful Indonesia sebagai asuransi syariah pertama. Ketiga lembaga itu adalah asuransi Syariah Mubarakah, divisi Syariah Great Eastern life insurance dan divisi Syariah MAA Insurance. Perkembangan yang menggembirakan juga terjadi di pasar modal yaitu dengan hadirnya reksa dana syariah PT Danareksa dan Investment management syariah PT PNM (persero). Hanya saja perkembangan yang sangat menggembirakan ini sangat disayangkan belum didukung oleh SDM ekonomi syariah yang mumpuni. Kita merasakan betapa langkanya akuntan yang menguasai fiqih muamalah, atau seorang ustadz yang terbiasa melaksanakan transaksi letter of credit L/C secara syariah.

Mencermati tantangan kelangkaan ini, alhamdulillah beberapa lembaga pendidikan dan pelatihan sudah mulai terpanggil. Diantara lembaga pelatihan itu, kita mencatat Tazkia Institute, Shariah Economic and Banking Institute (SEBI), Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Mandiri (PPSDM), Muamalat Institute, Karim Consulting, dan Divisi Perbankan Syariah Institute Bankir Indonesia (IBI). Sudah cukup banyak kiprah yang dilakukan oleh lembaga lembaga pelatihan tersebut.

Pada tataran akademisi kita mencatat kepeloporan fakultas ekonomi UII Yogya, SBI institute, SEBI, STIS Yogya, Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta, Universitas Djuanda Bogor, IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat, IAIN Medan, AKP Padang, dan Fakultas Ekonomi UNAIR, STEI Tazkia, dan Jurusan Timur Tengah dan Islam UI serta upaya lain dari beberapa universitas Islam yang cukup banyak.

Di antara lembaga-lembaga tersebut ada tiga lembaga yang melakukan terobosan cukup unik. Pertama, Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta. Kedua, Jurusan Timur Tengah dan Islam UI telah mendobrak salah satu institusi pendidikan tertua nasional dengan membuka program pasca sarjana dengan salah satu pilihan konsentrasi tentang ekonomi Islam. Ketiga, Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia.

Sebagai lembaga pendidikan yang mengkhususkan diri untuk pengembangan ekonomi Islam, Tazkia belajar dari keterbatasan-keterbatasan pendahulunya. Tazkia mengambil 120 persen kurikulum ekonomi dan muamalah, mewajibkan program matrikulasi, dan mengajarkan beberapa mata kuliah dalam bahasa Arab dan Inggris, serta menjalin kerjasama pengembangan kurikulum dengan Universitas Al-Azhar, Mesir dan International Islamic University, Malaysia.

Adalah kesulitan yang luar biasa besarnya bila memaksakan beberapa mata kuliah muamalah di fakultas ekonomi atau menginsersi beberapa mata kuliah bisnis di fakultas syariah. Yang paling ideal memang mengambil seluruh mata kuliah wajib kurikulum nasional ekonomi (60 persen) dan mengambil seluruh kewajiban kurikulum nasional Muamalah (60 persen).

Kesulitan 120 persen dapat diatasi dengan adanya matrikulasi dimana semua mahasiswa di asramakan selama 2 semester. Selama masa boarding, siswa difokuskan untuk mendalami Arabic for economist, English for academic purpose, quantum learning, tahfidz al-qur'an (ayat ayat ekonomi), applied mathematics & statistic for economics dan dirasah Islamiyah.

Kita berharap upaya-upaya lembaga pendidikan dan training tersebut di atas dapat berjalan dengan lancar karena memang SDM ekonomi syariah sudah sangat mendesak dan kita juga sudah sangat banyak ketinggalan dari peneliti asing yang melihat ekonomi dan keuangan Islam sebagai suatu kajian yang menantang. Di sisi lain beberapa IAIN dan universitas Islam kita masih bergelut mencari calon dosen dan rujukan yang pas untuk mahasiswa yang berminat tentang ekonomi syariah.

Oleh: Muhammad Syafii Antonio
Baca Tulisan Selengkapnya >>
 

Blogger news

Blogroll

About

Blog ini merupakan buah pikiran peserta Kelompok Risearch Ekonomi Syariah (KORSES), yang didirikan oleh: Umar Faruk Fazhay, Ahmad Qusyairi As-Salimy, Ann Madiyah dan Syamsul Ma'arif. perjalan dalam pendirian KORSES ini bisa di katakan terjal dan berliku, terlebih dalam teori dan konsep yang tidak matang-matang. selain itu blog ini menerima kiriman artikel atau opini yang berbau ekonomi islam.